Benteng Qait Bey (ancientroyal.com) |
Umrah plus Mesir –
Benteng Qait Bey, sebuah benteng yang terletak di sebelah timur pelabuhan
Alexandria, Mesir. Sahabat wisata muslim, di negeri tempat Sungai nil berada ini
memang banyak ditemukan benteng. Wajar bila kemudian muncul sebuah pertanyaan:
“Mengapa
para penguasa pada zaman
dahulu suka membuat benteng, padahal
pembangunan benteng tersebut akan memakan dana yang begitu besar?
Sahabat
wisata muslim, setiap benteng dibangun dengan tujuan untuk
mencegah dan melindungi diri dari serangan musuh. Begitu pula dengan Benten Qait Bey. Benteng ini dibangun
oleh Dinasti Mamluk dari kemungkinan serangan Dinasti
Utsmaniyyah. Benteng ini
juga menjadi
saksi bisu runtuhnya dua dinasti, Dinasti
Mamluk dan Dinasti Abasiyyah, sekaligus
saksi atas lahirnya Sang Penguasa Tiga benua sangat
disegani dan ditakuti pada abad ke-16 M,
yaitu Sultan Salim I.
Benteng
Qait Bey terletak di sebelah
timur Pelabuhan Alexandria
yang termasuk dalam distrik
Al-Anfusy,
yang dulunya lebih dikenal dengan sebutan kawasan Turki (Turki Quarter). Bangunan gagah yang dipugar terakhir kalinya oleh UNESCO yang
bekerjasama dengan pemerintah Mesir itu didirikan di atas reruntuhan
Mercusuar Pharos (Pharos
Lighthouse). Mercusuar
itu sendiri tetap berfungsi hingga kedatangan kaum muslimin di Mesir. Pada abad ke-3 H/9 M, mercusuar ini dipugar oleh Ahmad ibn
Thulun, pendiri Dinasti
Thuluniyyah.
en.wikipedia.org |
Namun,
mercusuar tersebut diguncang gempa pada abad ke-7
H/13 M sehingga
fisik bangunan yang berbentuk persegi
delapan itu runtuh. Kemudian
di atas
podasi mercusuar itu dibangunlah
sebuah mesjid kecil. Lagi-lagi
gempa datang mengguncang bangunan tersebut
pada abad ke-8 H/14 M. Oleh sebab itu, pada 882 H/1477 M (seperti tertera
didinding benteng itu), Sultan
Al-Asyraf Qait Bey
memerintahkan pembangunan benteng di atas lokasi mercusuar tersebut. Benteng ini menjadi bagian
penting sistem perbentengan Alexandria pada abad ke -9 H/15 M.
Qait
Bey adalah seorang sultan dari Dinasti Mamluk Burji yang menguasai Mesir dan
Suriah. Ia bergelar Al-Malik
Al-Asyraf Abu Al-Nashr Saifudin Al-Mahmudi Al-Zhahiri. Masa pemerintahannya antara
873-902 H/1468-1496 M. Qait
Bey melewati masa kecilnya sebagai seorang budak belian. Selanjutnya, ia dibeli
orang nomor
satu Dinasti Mamluk kala itu, Al-Asyraf Saifudin Barsbay dan dimerdekakan oleh Al-Zhahir Saifudin. Selanjutnya, Qait Bey meniti
karir di bidang
militer dan pada tahun 872 H/1467
M diangkat
Al-Zhahir tahun berikutnya sebagai pengganti Temirbugha yang mangkat sebagai
Artebag.
Setelah
naik tahta,
Qait Bey dihadapkan dengan dua tantangan besar. Pertama,
ia harus menghadang gerak maju pasukan Dinasti
Utsmaniyaah dan Dinasti Ak Koyunlou dari Turki atas pengintaian Mesir. Kedua, mengatasi masalah
ekonomi yang memburuk akibat ditemukannya Tanjung Harapan oleh para petualang
Eropa yang sedang berburu
harta Qarun di nusantara.
Qait
Bey berhasil menahan gerak maju pasukan Dinasti
Utsmaniyyah dengan menawan pangeran Elbistian di Anatolia. Namun, pasukannya tidak berhasil
menghalangi
pasukan Dinasti Ak Koyunlou di bawah
pimpinan Uzun Hasan. Pada
tahun 891H/1486 M, pasukan
Dinasti Utsmaniyyah berhasil mengalahkan pasukannya di Sisilia.
Keberhasilan
Dinasti Mamluk dalam menghadang pasukan Utsmani
ternyata tidak
pernah dilupakan oleh Sultan Salim I, seorang penguasa terkemuka Dinasti Utsmaniyyah yang berasal dari pasangan
suami-istri Sultan Bayazid II dan Gulbahar. Ia
lahir di kota
Amayasa pada tahun 875 H/1470 M, pada saat ayahnya menjadi sultan. Ia diberi kepercayaan menjadi
gubernur Trabzon, Turki. Pada saat menjelang kematiannya, sang ayah mengangkat Sultan
Salim I sebagai putra mahkota dengan membatalkan hak putra sulungnya, yaitu Ahmad, untuk menduduki
jabatan tersebut. Inilah pemicu terjadinya
perang saudara setelah wafatnya Sultan
Bayazid II.
Hasilnya,
Ahmad bin Bayazid II dengan dua saudaranya Murad dan Ala Al-Din tersingkir dan pergi menyelamatkan
diri. Saat itu, Murad ke Persia dan Ala Ad-Din ke Mesir. Mengetahui hal itu, Sultan Salim I langsung
menggerakkan pasukannya untuk menggempur
Persia. Dalam
perang Chaldrian pada tahun 920 H/1514 M,
pasukan Utsmani berhasil menghancurkan pasukan
Persia dan memasuki Tibriz (ibu kota
Persia) dengan penuh kemenangan.
Dua
tahun kemudian,
tepatnya pada tahun 921 H/1516 M, giliran
Mesir digempur dan kemenangan
berpihak pada Sultan Salim I. Akibatnya daerah
Homs, Damaskus, Nabus, Al-Quds dan Gaza berada di bawah kendalinya. Dengan
takluknya Sultan Thuman Bay, pasukan Dinasti Utsmaniyyah berhasil menguasai
seluruh Mesir, temasuk Alexandria.
Keberhasilan
tersebut mengukuhkan Dinasti Utsmaniyyah sebagai negara Muslim yang paling Berjaya dengan
kekuatan dan ketangguhan militernya. Terlebih pasukan kavaleri
dan artilerinya yang mampu bergerak sangat cepat bagikan topan yang menderu
kencang dan melibas apa pun yang menghadangnya.
Setelah
penaklukan negeri
piramida tersebut, pemerintahan dipegang
penuh oleh Dinasti Utsmaniyyah di Mesir.
Pada masa ini, Benteng Qait Bey tetap berfungsi
dengan baik. Demikian
pula saat Mesir berada di bawah pimpinan Muhammad
Ali.
Benteng
Qait Bey mengalami kerusakan parah ketika pasukan
Inggris melakukan pengeboman atas Alexandria pada 1883 M. Benteng tersebut dipugar kembali
semenjak 1428 H/1997 M oleh
pemerintah Mesir yang bekerja sama dengan UNESCO. (Jng/RA)