Haji dan Umrah - Haji mabrur,
itulah yang seringkali dibahas terkait dengan ibadah haji. Memang, setiap kali kita mengantarkan
para jamaah dan tentu saja bagi para jamaah haji sendiri, haji mabrur adalah
hal yang sangat diidamkan. Bagi pengantar, mereka berharap agar jamaah yang
diantarkan bisa meraih kemabruran. Begitu pula dengan jamaah haji yang
melaksanakannya. Berharap agar menjadi pribadi yang berbeda, menjadi pribadi
yang lebih baik. Sekali lagi, kemabruran adalah hal yang diidamkan, bukan
sekadar memenuhi syarat sah haji semata.
Berbicara
tentang haji yang sah berarti
mencukupkan diri untuk menggugurkan kewajiban.
Masalahnya, bisa jadi haji seseorang sah sehingga
kewajiban berhaji baginya telah gugur, tetapi hajinya belum tentu diterima oleh Allah Ta’ala. Tak heran jika pembahasan kemabruran pada haji tak pernah surut. Lalu, apa yang dimaksud dengan
kemabruran itu?
Pengertian haji mabrur
Dalam bahasa Arab, kata
mabrur berasal dari kata”barra-yaburybarran” yang bermakna ”taat berbakti”. Dalam kamus al Munawir Arab-Indonesia
terlengkap karangan Ahmad Warson Munawwir, tertera bahwa mabrur terkait dengan kata-kata ‘al biru’ yang bermakna ketaatan.
Haji mabrur berarti mempunyai kebaikan yang melimpah
ruah, baik
dari pelaku haji maupun bagi orang yang terlibat langsung dalam pelaksanan
haji. Misalnya orang yang tidak berangkat haji, tetapi berkeinginan untuk berangkat, menitip doa,
mengunjungi orang yang berangkat dan pulang haji, atau mengantar dan
mendoakannya. Semuanya akan memperoleh kebaikan. Dengan demikian, kemabruran haji tersebut
bukan hanya pada pelakunya, tetapi prosesi haji memang dapat mendatangkan kebaikan bagi semua orang. Di sinilah
keunikan ibadah haji dibandingkan dengan ibadah lainnya.
Ditinjau dari segi harfiyahnya, kata mabrur (مبرور) berarasal dari birr (بر)
yang berarti puncak kebaikan. Sehingga, jika terdapat banyak kebaikan yang
diperbuat manusia, maka puncak dari segala kebaikan tersebut adalah al-birr. Al-birr bisa
dicapai apabila telah terpenuhi syaratnya sebagaimana ditegaskan dalam ayat al
Quran berikut..
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang
kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (TQS. Ali Imran [3]: 92)
Menurut pendapat beberapa
ulama, haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya. Sementara ulama
yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi
bermaksiat. Dari kedua pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa orang yang berhasil menggapai predikat tersebut
akan mendapatkan keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Nabi saw.
“Dan
haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.”
(HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349).
Sementara An Nawawi
rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud, ‘tidak ada balasan yang pantas
baginya selain surga’, bahwasanya haji mabrur tidak cukup jika pelakunya dihapuskan
sebagian kesalahannya. Bahkan ia memang pantas untuk masuk surga.”
Lalu, bagaimana
mengetahui mabrurnya haji seseorang? Apa perbedaan antara haji yang mabrur
dengan yang tidak mabrur?
Perlu kita ketahui,
penilaian kemabruran haji seseorang adalah hak Allah semata. Sementara kita tidak
bisa memastikan bahwa haji seseorang mabrur atau tidak. Para ulama hanya menyebutkan
tanda-tanda mabrurnya haji berdasarkan keterangan al-Quran dan al-Hadits. Namun
hal tersebut bukan harga pasti untuk menilai kemabruran haji seseorang.
Meraih
haji mabrur
Bagaimana cara meraih
haji mabrur? Nah, berikut beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk meraih haji
mabrur.
Pertama, gunakan
harta yang halal untuk berhaji. Sebagaimana ditegaskan dalam sebuah
hadits:
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ
إِلاَّ طَيِّبًا
“Sungguh Allah baik, tidak menerima kecuali yang baik.”
Kedua, kerjakan segala amalan dengan ikhlas dan baik, sesuai
tuntunan Nabi Muhammad saw. Setidaknya, rukun-rukun dan
kewajibannya harus dijalankan, sedangkan semua larangan harus ditinggalkan. Jika terjadi
kesalahan, segera menggantinya dengan dam, yang telah ditentukan jumlah dan
waktunya.
Ketiga, penuhi rangkaian
waktu haji dengan banyak amalan, seperti dzikir, shalat di
Masjidil Haram, shalat tepat pada waktunya, dan membantu teman
seperjalanan.
Keempat, tidak berbuat maksiat selama ihram. Adapun yang dimaksud maksiat di
sini adalah larangan agama dalam semua kondisi, baik larangan ihram dan larangan yang bisa mengakibatkan
ketidakmabruran haji, misalnya rafats, fusuq, dan jidal.
Kelima, menjaga akhlak yang menjadi lebih baik setelah haji. Itulah yang akan diterima amalnya oleh Allah SWT. Namun sebaliknya, jika berbuat hal yang
lebih buruk setelah berhaji, hal
tersebut menandakan Allah swt tidak menerima amalnya.
Bertaubat setelah haji, berubah menjadi lebih baik, memiliki hati
yang lebih lembut dan bersih, ilmu dan amal yang lebih mantap dan
benar, kemudian istiqamah di atas kebaikan itu adalah beberapa tanda haji
mabrur. Orang yang hajinya mabrur menjadikan ibadah haji sebagai titik tolak
untuk membuka lembaran baru dalam menggapai ridho Allah SWT. Ia akan
semakin mendekat ke akhirat dan menjauhi dunia. Semoga, haji yang kita jalankan diterima Allah swt dan kita semua mebdapat
predikat haji mabrur, aamiin..(Jng/RA)