Masjid Muhammad Ali di Mesir: Tandingan Masjid Biru Turki (famouswonders.com) |
Umrah plus Mesir - Sejarah mencatat, selama abad ke-19 M, setahap demi setahap berbagai masalah perkotaan dan pedesaan di Mesir mulai tertata. Jumlah penduduk kota Kairo mulai merangkak naik dan kelas menengah yang berkecukupan pun mulai terbentuk. Di antara kelas menengah tersebut terdapat para tuan tanah dan hartawan, baik di perkotaan maupun pedesaan. Setahap demi setahap, kota Kairo berubah menjadi
sebuah kota besar sekaligus ibukota sebuah negara yang mapan.
Situasi
ini mendorong Muhammad Ali untuk membangun sebuah masjid bergaya Turki murni, yaitu perpaduan antara
Masjid Biru (Blue Mosque) dan Hagia Sophia di
Istanbul, Turki. Dirancanglah masjid
ini oleh seorang arsitek Turki, Yousef Bousnaq, dibantu sejumlah
insinyur dari Perancis
dan Italia. Di antara ide yang
dikemukakan para insinyur ini adalah pemilihan lokasi yang unik, yaitu di puncak Benteng
Salahuddin Al-Ayyubi (Qaet
el-Gabal atau Qal’et
Salah Al-Din) yang kala itu lokasinya masih berada di pinggiran kota Kairo. Masjid Muhammad Ali
dibangun pada tahun 1245-1266 H/1830-1849 M.
Dengan
dipilihnya tempat ini, panorama
di sekitar
benteng pun
menjadi benar-benar eksotik. Dari lokasi Masjid, kita bisa melihat
berbagi penjuru kota Kairo. Dulu, ketika ibukota Mesir
belum banyak dihiasi bangunan yang
tinggi menjulang, piramida-piramida
di Giza pun
dapat disaksikan dengan
jelas dari Masjid ini.
Masjid
Muhammad Ali memiliki
bentuk yang relatif
kecil dibandingkan masjid-masjid bergaya
Turki di ibukota Dinasti Utsamniyyah, Istanbul. Namun,
masjid ini tidak kalah cantik dan memikat.
Hal ini disebabkan
keselarasan luar biasa yang mewarnai masjid tersebut.
Masjid Muhammad Ali memiliki ciri khas, yaitu
dua menara ramping yang mengapit empat kubah utama. Terdapat ruang shalat yang lapang dan megah berukuran 41 x 41 meter, dengan dinding-dinding
tinggi menjulang yang dilengkapi qimiriyah
berwarna–warni dan penyangga-penyangga pualam. Di samping
penyangga-penyangga yang menopang panggung utama, terdapat tiang-tiang
pualam ramping yang menyangga atap dan kubah-kubah kecil.
Sistem
pencahayaan masjid ini pun
sangat baik, terlihat dari adanya
lampu-lampu gantung raksasa di bagian tengah. Lampu tersebut diberi
bingkai lampu-lampu gantung listrik dengan
ukuran lebih kecil,
yang dikelilingi bola-bola kristal yang
sangat indah.
Bagian
dalam masjid ini bergaya barok, suatu
gaya yang tumbuh selepas masa Renainsans mutakhir yang sarat dengan dekorasi dan ornamen. Akibatnya, dekorasi dan ornamen
tersebut acap kali menutup keindahan bangunan aslinya. Namun, dekorasi tersebut tidak merusak
keindahan bagian dalam masjid. Jika memasukinya, terasa sentuhan Perancis-Italia.
Kubah
utama Masjid Muhammad Ali
bertumpu di atas
penyanga kokoh
dari batu yang dipahat dan dilapisi pualam. Kubah
tersebut, berikut empat kubah lainnya, dihiasi dan diselimuti
enam medali dan beragam motif
lainnya. Pada keenam medali yang mengitari kubah utama
tertoreh kaligrafi nama-nama Allah, Muhammad, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.
Bagian interior kubah (sniffstravels.blogspot.com) |
Masjid
Muhammad Ali memiliki lengkung-lengkung
di dalam ruang shalat yang sangat memikat pandangan karena begitu lapang dan
tinggi. Di samping itu, ceruk kubahnya terlihat sangat menawan. Pada saat lampu-lampu masjid dan lampu-lampu gantung
ukuran kecil yang mengitari ruang shalat tersebut dinyalakan, masjid ini menjadi
begitu menawan. Tak ada yang bisa
menandinginya, kecuali Masjid Biru di Istanbul.
Segala
sesuatu yang terdapat di masjid ini memang
bernilai mahal, mulai
dari kayu, tembaga, kuningan, kaca berwarna-warni, sampai karpet-karpet yang
sangat menawan. Terdapat dua
mimbar, yang besar terbuat dari kayu dan
kecil terbuat dari marmer,
yang merupakan hadiah dari Raja
Faruq pada tahun 1358 H/1939 M. Meskipun berlanggam barok, mimbar-mimbar itu
begitu sarat dengan dekorasi dan ornamen. Masjid
ini menjadi titik akhir dari berbagai tradisi gaya arsitektur islam lama dan
titik awal kelahiran sebuah langgam baru dari arsitektur Islam.
Selain
ruang shalat yang telah dijelaskan di atas,masjid ini juga memiliki shahn (ruang terbuka)
berukuran 54 x 53 meter. Di bagian tengah ruang tersebut
terdapat tempat wudhu berbentuk persegi delapan dan dihiasi kanopi berkubah
besar di atas
delapan tiang dengan onamen natural. Di bawah kubah itu
terdapat kubah kecil berbentuk oktagonal
yang dihiasi motif-motif floral.
Jam hadiah dari Raja Perancis (scotsabroad.wordpress.com) |
Di ruang terbuka ini, di lokasi yang berseberangan dengan pintu
masuk masjid,
terdapat sebuah jam. Jam
yang terletak di atas
atap tersebut merupakan hadiah dari Louis Philppe, Raja Perancis kepada Mesir. Pemberian itu sebagai
pengganti obelisk yang dihadiahkan Mesir kepada Perancis yang kini ditempatkan di Place de la
Concorde, Paris. Jam yang diterima pada
tahun 1261 H/1845 M dan sangat unik tersebut ikut menambah keelokan masjid tersebut.
Pada
tahun 1317 H/1899 M, Masjid
Muhammad Ali mengalami retak di berbagi
bagian. Pada tahun 1350 H/1931 M, Raja Fuad I bersama
sebuah komite yang terdiri dari sejumlah arsitektur terkemuka menyarankan agar
kubah-kubah masjid dipugar seluruhnya. Selanjutnya pada tahun
1350-1358H/1931-1939 M, masjid
tersebut dipugar dan dibangun kembali sesuai
bentuk aslinya. (Jng/RA)